Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis
adalah terwujudnya masyrakat yang menghargai kemajukan (pluralitas)
masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu
keniscayaan.Kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum
alam).Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan
aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan
yang sama, tidak ada superioritas antara suatu suku, etnis atau
kelompok sosial dengan lainnya.Mereka juga memiliki hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.Namun kadang-kadang
perbedaan-perbedaan ini menimbulkan konflik diantara mereka.Maka
sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan konsep atau
paham kemajemukan (pluralisme).
Dalam The Oxford Englis
Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme ini dipahami sebagai; (1)Suatu
teori yang mentang kekuasaan negara monolitas; dan sebaliknya,
mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama
yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat.Juga, suatu
keyakinan bahwa kekusaan itu harus dibagi bersama-sama diatara sejumlah
partai politik.(2)Keberaaan atau toleransi keragaman etnik atau
kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta
keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan
sebagainya.Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme
politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme
politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme
sosial atau primordial.
Untuk mewujudkan dan mendukung
pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi.Meskipun hampir semua
masyarakat yang berbudaya sudah mengakui adanya kemajemukan sosial,
dalam kenyataanya, permasalahan toleransi ini sering muncul dalam suatu
masyarakat, termasuk di Eropa Barat dan Amerika Serikat.Pesolan yang
muncul terutama berubungan dengan ras atau agama.Kedua hal ini bahkan
kadang-kadang menyatu seperti dalam kasus Israel-Palestina ,
Serbia-Bosnia dan sebagainya.Sebelumnya, di Eropah dalam kurun waktu
yang lama, tertama pada abad ke-16 dikenal adanya war of religion
antara Keristen, Yahudi, Katolik.Untuk menghilangkan konflik
intoleransi yang berkepanjangan ini , di Prancis diundangkan The Edict
of Nantes pada tahun 1598, sedangkan di Inggris diundangkan Toleration
Act pada tahun 1689.
Pada saat ini barangkali hanya
sedikit adanya perundangan di dunia yang diskriminatif dan tidak
toleran.Akan tetapi, sikap tidak toleran diantara individu-individu atau
kelompok-kelompok masih sering muncul dalam beberapa kasus, baik
karena motivasi rasial, ideologis, politik maupun keagamaan.Dalam
kenyataannya, sikap tidak toleran itu tidak semata-mata disebabkan
faktor eksternal, misalnya karena kebijaksanaan politik pemerintah
tertentu atau politik gelobal kekuatan dunia tertentu.Beberapa gerkan
radikal yang cederung tidak toleran di Timur Tengah ataun Amerika Latin,
misalnya, libih banyak dipengaruhi politik mereka yang represif serta
dominisasi atau politik global negara-negara tertentu, terutama Amerika
Serikat, yang sering menggunakan standar ganda delam memecahkan
perolan-persoalnan internasional.
Ada dua macam
penafsiran tentang konsep toleransi ini, yakni penafsiran negtif
(negative interpration of tolerance ) dan penafsiran positif (positif
interpration tolerance).Yang pertama menyatakan toleransi ini hanya
mensyarakan dan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang
/kelompok lain.Yang kedua menyatakan bahawa tolernsi membutuhkan lebih
dari sekedar itu.Ia membentuhkan adanya batuan dan dukungan terhadap
keberadaan orang/kelompok lain.Hanya saja, interpertasi positif ini
hanya boleh terjadi didalam setuasi dimana objek dari toleransi tidak
tercela secara moral dan merupakan sesuatu yang tak dapat dihapuskan,
seperti dalam kasus toleransi rasial.
Dilihat dari segi
etnis, bahasa, agama, dan sebasgsainya, Indonesia termasuk salah satu
negara yang paling majemuk di dunia.Hal ini disari betul oleh founding
fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengasn
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928
kmerupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini
sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi penjajah
Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan
kebangsaan Indonesia.Pluraralisme ini tetap dijungjung tinggi pada
waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain
dalam sidang-sidang BPUPKI.Betapa para pendiri republik itu sangat
menghargai pluralisme, baik dalam konteks sosial dan politik.Bahkan
pencoretan ‘’tujuh kata’’ dalam Pancasila, yang terdapat dalam Piagam
Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai pluralisme ini.
Dalam
hal ini Indonesia mempunyai kelebihan beberapa hal daripada
Negara-negara lain, karena Indonesia mendukung kedua Interpertasi
tersebut.Dalam konteks keagamaan, misalnya, Negara-negara lain, negara
Barat, pada umumnya mengikuti penasifsiran toleransi negative, yakni
hanya memberikan kebebasan kepada berbagai agama untuk hidup.sementara
tradisi keagamaan dalam konteks kenegaraan didominasi oleh agama
mayoritas, seperti pengakuan hanya hari libur agama mayoritas saja yang
dijadikan sebagai hari libur resmi.Di Indonesia hari agama minoritas
juga dijakan sebagai hari libur resmi, dan bantuan negara juga
diberikan kepada pemeluk agama minoritas.
Demokrasi di Indonesia
harus dilihat secara komprehensif tidak hanya pluralisme politik, tapi
juga pluralisme keberagaman dan etnisitas .Peradapan manusia Indonesia
akan menghadapi stuasi kritis, jika pluralisme keberagaman dan
etnisitas tidak bisa ditegakkkan.Dengan demikian, pluralisme politik
harus berjalan seiring dengan pluarisme sikap keberagaman, etnis dan
golongan serta penghayatan dan ketaatan terhadap hukum karena hanya
demikian demokrasi dapat ditegakkan.
Dialog dan Kerja Sama Antaragama
Selama
Orde Baru, pluralisme politik menjadi suatu yang tabu sehingga proses
demokrasi berjalan dengan tersendat-sendat.Terjadinya konflik sosial
yang berlindung di bawah bendera organisasi keagaman dan
mengatasnamakan kepentingan agama bukan merupakan justifikasi dari
doktrin agama karena semua agama mengajarkan kepada umatnya sikap
toleransi dan menghormati sesama.Bahkan semakin saleh (pious) seseorang
dalam penghayatan agama dan kepercayaannya akan semakin toleran dan
menghargai eksistensi agama lain.
Munculnya konflik yang
mengancam pluralisme keberagaman bisa dipicu oleh motif tertentu
seperti politik, ekonomi, sosial dan kekuasaan.Kurangnya kejelasan
hubungan atara penghayatan agama sebagai doktrin disuatu pihak dan sikap
keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain, juga
bisa memunculkan konflik. Reaksi dari perubahan sosial yang cepat karena
oreantasi materealisme yang eksklusif dan orentasi hasil
developmentalisme yang dikembangkan selama lebih dari tiga dasawarsa
pemerintahan Orde baru , juga merupakan potensi tumbuhnya konflik
antaragama.
Sementara itu, dalam prespektif global
menurut Samuel Huntington, akan ditandai oleh intensitas hubungan
dialogis yang melampaui wilayah admitratif suatu negara, terutama antar
wilayah peradaban manusia dalam suatu negara.Fenomena ini akan membuka
peluang munculnya ‘’ pertentangan budaya’’ yang bersumber pada
keyakinan agama.Disinilah tampaknya dalam hubungan antar negara sebagai
doktrin suatu pihak akan bersinggungan dengan perilaku keberagaman
yang mewujud dalam bentuk kebudayan dipihak lain, menjadi salah satu
agenda kemanusiaan kita yang penting sejak sekarang.
Kita
sadari bahwa agama dapat menjadi sumbermoral dan etika serta
bersifatat absolut, tetapi pada sisi lain juga menjadi sistim
kebudayaan, yakni ketika wahyu itu direspons oleh manusia atau
mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistim kognisi
manusia.Dalam konteks ini agama disebut sebagai gejala kebudayaan.
Sebagai
sistim kebudayaan, agama dapat menjadi establishment dan kekutan
mobilisasi yang sering menimbulkan konflik.Disinilah ketika agama
(sebagai kebudayaan) difungsikan dalam masyarakat secara nyata maka akan
melahirkan realitas yang serba paradoks.
Konflik,
kekerasan, dan reaksi destruktif akan muncul apabila agama kemampuan
untuk merespon secara kreatif terhadap perubahan sosial yang sangat
cepat.Dalam tataran ini para penganut agama harus merenungkan prilaku
terhadap situasi baru yang baru berkembang.Jika agama gagal membingbing
umatnya maka agama akan memasung pengikutnya pada lembah kebingungan
dan kefrustasian.Dengan kata lain, kesulitan dalam mengatasi pderubahan
sosial dapat menyebabkan agama kehilangan pengaruh dan relavansi.
Sebaliknya,
jika para penganut agama berwawasan jauh dalam merespon perubahan maka
agama akan memainkan peranan penting dalam memenuhi arti
kehidupan.Dalam konteks sosial hubungan fungsional antara agama dan
masyarakat sejauh agama mampu menghadirkan aspek-aspek yang rasional
dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, maka dapat menjadi
suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan
perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat
dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator penengah terjadinya
diisintengrasi dalam masyarakat.Lebih dari itu, dengan kekuatan yang
dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi
kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial,
mengatasi rasa frustasi social, penindasan dan kemiskinan.
Setiap
agama tentu mengajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan
tingkah laku para pemeluknya, walaupun dasar sumber agama itu adalah
nilai-nilai transenden.Jika keyakinan dapat ditransformasikan secara
positif maka dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan
bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola
tingkah laku corak sosial.Disinilah agama dapat dijadikan sebagai
instrument integratif bagi masyarakat.Karena agama tidak hanya berupa
sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai prilaku
individu dalam sistem sosial.
Meskipun kebenaran agama
abadi tetapi agama tetap historis, mudah menjelma dalam pergolakan
hidup manusia.Fakta menunjukan bahwa agama tak mudah bekerja sama
dengan sejarah dalam realitas objektis factor agama menjadi factor
ancaman yang paling serius dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan,
terlebih lagi bagi masyarakat yang serba majemuk seperti
Indonesia.Konflik dalam skala nasional ternyata banyak bersumber pada
masalah yang dikaitkan dengan agama.Agama seolah menjadi factor latent
bagi bagi bahaya disintgrasi sosial.Disinilah perlu diperhatikan bahaya
dogmatis agama, intoleransi dan absolutisme yang kadang muncul.
Untuk
menghindari bahaya ini maka proses pemikiran moral perlu diartikulasi
secara jelas.Dalam kerangka agama harus menjadi penengah diantara
kepentingan-kepentingan yang seringkali membuat konflik dalam tatanan
umum dan perubahan sosial.Agama juga harus meninggalkan perannya
sebagai legitimator kekuasaan seperti dalam era Orde Baru atau sebagai
instrument pihak-pihak tertentu untuk mencapai kekuasaan karena agama
merupakan salah satu bentuk legitimasi yang palin efektif.Sebaliknya
agama harus mamapu bertindak sebagiai penjaga moral dalam perubahan
sosial.
Oleh karena itu kerja sama dan hubungan dialogis
keaagamaan dalam pluralitas masyarakat Indonesia semakin
penting.Kerjasama antaragama diperlukan untuk menerjemahkan kesadaran
atas hakikat dasar moralitas dan sikap moral terhadap realitas sosial
serta keinginan untuk menghomati orang lain.**
**Dari berbagai sumber.